(Repost by : Rulianto Sjahputra)
|
Kawasan Bundaran Hotel Indonesia dan Jalan MH Thamrin, Jakarta, terendam banjir luapan Sungai Ciliwung, Kamis (17/1/13). Banjir menerjang berbagai kawasan membuat Jakarta lumpuh dan dinyatakan dalam kondisi darurat bencana. (Kompas/Iwan S.) |
UPAYA PENCEGAHAN BENCANA BANJIR DAN LONGSOR DI INDONESIA. Tangerang 2014. Layaknya dalam melewati suatu masa akhir
tahun dan mengawali tahun baru berikutnya. seharusnya dipenuhi dengan rasa
bahagia dan optimis setelah sebelumnya melakukan intropeksi dan evaluasi terhadap apa saja
kelebihan dan kekurangan pada tahun sebelumnya yang telah dialamani. Ternyata
uporia kebahagian awal tahun baru saat ini tidak dapat dinikmati oleh sebagian
besar anak bangsa Indonesia kita tercinta ini. Rentetan musibah dan bencana
telah dirasakan secara intens sejak bulan-bulan terakhir tahun lalu oleh bangsa
ini, dan sampai tulisan ini dibuat (awal Pebruari 2014), beberapa musibah bencana
alam baik yang datang secara rutin seperti banjir dan tanah longsor, maupun
musibah bencana alam murni seperti erupsi gunung berapi masih berlangsung di
Indonesia.
Intensitas potensi bencana alam yang
terjadi di Indonesia memiliki kecenderungan semakin meningkat dari tahun ke
tahun. Berbagai potensi tersebut antara lain adalah banjir pada musim penghujan
dan tanah longsor, serta kekeringan pada saat musim kemarau. Banjir, tanah longsor dan kekeringan
merupakan fenomena rutin dengan daerah sebaran yang terjadi
juga semakin meluas di hampir seluruh daerah di Indonesia. Tak terkira jumlah korban jiwa dan nilai kerugian yang diderita.
Pada tahun 2013 saja di Jakarta,
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengatakan, kerugian akibat banjir yang
melanda Ibu Kota kali ini diperkirakan Rp 20 triliun (Balaikota Jakarta, Selasa,
22/1/2013). Sementara di Sulawesi Utara, BNPB (Badan Nasional Penanggulangan
Bencana) merilis data sementara kerugian banjir di Manado telah mencapai Rp.
380 triliun (Tribun Manado, Selasa 14/2/2014). Basuki Rakhmat, Kepala Seksi
Pengendalian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) seperti dikutip situs
Pemprov DKI, beritaJakarta.com, Rabu (15/1/2014), sementara ini tercatat sebanyak
2.761 warga dan tersebar di 20 lokasi pengungsian dengan sebaran dampak kepada
2.925 kepala keluarga (KK) atau 8.064 jiwa yang tersebar di sebanyak 10
kecamatan dan 18 kelurahan di Jakarta. Untuk korban jiwa data sementara yang
dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Kepala Pusat Data
Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, menyebutkan ada 18 orang tewas,
2 orang hilang, 101 rumah hanyut, dan ribuan warga mengungsi. Korban tersebut
berasal dari Kota Manado (6 tewas, 1 hilang), Kabupaten Minahasa (6 tewas),
Kota Tomohon (5 tewas, 1 hilang) dan Kabupaten Minahasa Utara (1 tewas). Belum
lagi kerugian dan korban musibah banjir dan tanah longsor di wilayah Indonesia
lainnya mulai dari Indonesia bagian barat, seperti banjir di Jambi akibat
luapan Sungai Batanghari yang merendam 5.000 rumah (14/1/2014), sampai ke
Indonesia Timur seperti bencana hujan dan tanah longsor di Sentani, Jayapura
yang merengut 4 korban pada 4 Januari 2014 kemarin.
Frekuensi kejadian bencana banjir,
longsor, dan kekeringan selain karena kerusakan lingkungan, juga dipicu dengan
fenomena perubahan iklim. Berdasarkan data BNPB, 2011 bahwa trend bencana di
Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bencana yang terjadi tersebut
umumnya berkaitan dengan hidrometeorologi (kekeringan, tanah longsor, puting
beliung dan gelombang pasang) terjadi rata-rata hampir 80 % dari total bencana
di Indonesia. Bahkan menurut catatan Internasional Disaster Database (2007), 10
kejadian bencana terbesar di Indonesia yang terjadi dalam periode waktu 1907 –
2007 terjadi setelah tahun 1990 an dan sebagian besar merupakan bencana yang
terkait dengan iklim khususnya banjir, kemudian kekeringan, kebakaran hutan,
dan ledakan penyakit.
PENYEBAB UTAMA
Berbicara
penanggulangan banjir maupun tanah longsor, maka salah satu kontribusi terbesar
terjadinya musibah bencana ini adalah kurang bijaksananya perlakuan kita dalam
menjaga keseimbangan dan keserasian alam sekitar kita. Musibah banjir dan tanah
longsor serta kekeringan yang terjadi lebih dipandang sebagai fenomena alam
biasa yang disebabkan oleh salah satu factor alam yaitu hujan. Banyak kita
dengar khususnya dari media dan pejabat pemerintah terkait, bahwa seperti untuk
banjir saja yang melanda lebih dikarenakan ketidakmampuan sungai setempat dalam
menampung debit curah hujan yang tinggi, serta paling tidak dikatakan karena
limpahan (kiriman) air sungai dari daerah lain yang lebih tinggi (daerah hilir
sungai) pasca hujan lebat yang terjadi. Jarang yang mau mengakui bahwa penyebab
utama terjadinya musibah tersebut lebih dikarenakan perlakuan kita dalam
menjaga keseimbangan alam yang tidak bijak dan tidak konsisten.
Untuk
itu dianggap sudah sangat mendesak untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan
(preventif) dalam upaya solusi penanggulangan bencana banjir dan tanah longsor
di Indonesia ke depan yang harus mulai ditingkatkat dengan meliputi kegiatan-kegiatatan
nyata yang terencana dan tersistematis pada uraian-uraian berikut dalam tulisan ini.
UPAYA
PENCEGAHAN BENCANA BANJIR DAN LONGSOR DI INDONESIA
I. PENCEGAHAN PERUSAKAN
KAWASAN LINDUNG
Pencegahan perusakan lingkungan di kawasan lindung dimaksudkan
untuk melakukan upaya preventif terhadap kegiatan-kegiatan yang berpotensi
dapat merusak fungsi lindung kawasan. Berikut beberapa kegiatan yang tidak
boleh dilakukan di Kawasan Lindung secara rinci berdasarkan pola penggunaan
tiap-tiap kawasan :
1. Kawasan Hutan Lindung
Kegiatan yang tidak boleh dilakukan di kawasan hutan lindung
adalah :
Mengerjakan kegiatan budidaya apapun;
Melakukan penebangan pohon;
Mendirikan bangunan terstruktur;
Melakukan kegiatan lain yang akan menurunkan
fungsi kawasan sebagai pengendali tata air dan pelindung erosi;
2. Kawasan Resapan Air
Tidak diperkenan mendirikan bangunan di kawasan resapan air yang
akan menghalangi meresapnya air hujan secara besar-besaran. Pembangunan jalan
raya juga dihindari agar tidak menyebabkan pemadatan tanah dan terganggunya
fungsi akuifer. Vegetasi yang ada di tempat ini agar dijaga dan tidak dilakukan
penebangan komersial.
|
Sumur resapan air di lingkungan permukiman |
Daerah resapan air pada hakikatnya
adalah sebuah daerah yang disediakan untuk masuknya air dari permukaan tanah ke
dalam zona jenuh air sehingga membentuk suatu aliran air di dalam tanah. Fungsi
dari daerah resapan air sendiri adalah untuk menampung debit air hujan yang
turun di daerah tersebut. Secara tidak langsung daerah resapan air memegang
peran penting sebagai pengendali banjir dan kekeringan di musim kemarau. Dampak
yang terjadi bila alih fungsi lahan yang terjadi tak terkendali diantaranya
adalah banjir. Banjir terjadi karena tidak adanya tanah yang menampung air
hujan. Dampak yang lain yakni kekeringan diwaktu musim kemarau. Ini terjadi
karena air hujan yang turun di musim hujan tidak tertampung di dalam tanah
akibatnya air tanah sedikit bahkan tak ada lagi.
Untuk memperbaiki dan menambah daerah
resapan air bisa dilakukan dengan cara-cara berikut :
- Menentukan vegetasi yang tepat untuk ditanam
di daerah resapan. Beberapa diantaranya adalah bambu, beringin, bisbul (sejenis
kesemek), rambutan, nangka, manggis, dan matoa.
- Memperbaiki kondisi tanah agar mudah menyerap
air.
- Membuat lubang biopori. Pembuatan lubang
biopori dapat dilakukan oleh secara pribadi di rumah-rumah sehingga jika
dilakukan secara kolektif akan menambah jumlah resapan air di kota besar
- Menambah ruang terbuka hijau, misal taman
kota.
- Membuat sumur resapan.
- Menjaga agar luas daerah resapan air tidak
terkonversi menjadi bangunan-bangunan yang tidak ramah lingkungan.
Dari
beberapa cara diatas, hal yang paling sederhana adalah dengan membuat
lubang-lubang biopori minimal di halaman rumah sendiri. Hal besar berawal dari
hal kecil.
3. Kawasan Sempadan
Sungai
Sepanjang sempadan sungai
tidak diperkenankan digunakan untuk jalan, bangunan, dan kegiatan
budidaya lainnya. Pada sempadan sungai harus dilakukan penanaman pohon yang
berfungsi untuk meningkatkan kapasitas resapan air dan menjaga agar tidak
terjadi penebangan dan pengambilan vegetasi.
4. Kawasan sekitar
danau/waduk
Di kawasan ini harus dijaga agar tidak terjadi penebangan pohon,
sedangkan pada kawasan yang gundul dilakukan penanaman pohon.
5. Kawasan sekitar mata
air
Dikawasan sekitar mata air, yakni pada radius 200 meter tidak
diperkenankan untuk kegiatan budidaya.
II. LANGKAH PENGURANGAN
RESIKO
Di saat musim kemarau, terjadi krisis kualitas dan kuantitas air
yang menyebabkan sulitnya penduduk mendapatkan akses air bersih dan kekeringan
lahan pertanian. Siklus banjir dan kekeringan tersebut karena terganggunya
siklus air dari hulu sampai dengan hilir oleh kegiatan manusia yang kurang atau
tidak memperhatikan kaidah perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Oleh
karenanya perlu adanya kegiatan dan tindakan nyata untuk mengurangi resiko –
resiko bencana banjir antara lain :
Jangka Pendek :
Diseminasi informasi daerah rawan banjir dan
longsor serta meminta Pemkab/ kota diminta mencermati lokasi yang rawan.
Melakukan pengerukan selokan – selokan maupun
endapan sepanjang sungai.
Membenahi saluran air / sungai yang tersumbat
oleh bangunan, ataupun sampah terutama di daerah yang tergenang air.
Menghentikan pembuangan sampah ke sungai serta
pengawasannya. Mengingat sekitar 29 % masyarakat sekitar aliran sungai selalu
membuang sampah ke sungai (Penelitian KLH - JICA, 2007).
Mengkampanyekan, membina masyarakat dan
mewajibkan dunia usaha untuk membuat sumur resapan, lubang resapan biopori dan
bak penampung air hujan dalam rangka memanen air hujan. Pemanenan air hujan
tersebut dapat dilihat pada :
a. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
nomor 12 Tahun 2009 tentang Pemanfaatan Air Hujan.
b. Buku Metode Memanen Air dan Memanfaatkan
Air Hujan untuk Penyediaan Air Bersih, Mencegah Banjir dan Kekeringan.
c. Panduan Kesiapsiagaan Banjir
d. Buku saku Lubang Resapan Biopori
e. Pedoman Pencegahan Banjir dan Longsor
6. Memobilisasi komunitas masyarakat yang
peduli air, sungai maupun bencana banjir untuk mengurangi resiko banjir
khususnya di DKI Jakarta, Jabodetabek maupun wilayah lainnya.
Jangka Menengah :
Membuat
jaring – jaring sampah pada anak – anak sungai dan pengolahan sampahnya.
Melanjutkan pembuatan cek dam di hulu (program
seribu cek dam), sebagai penampung air skala kecil, sumur resapan dan
pengurangan sedimen (sedimen trap) ke sungai dengan melibatkan pelaku usaha dan
masyarakat sebagai pemanfaat air.
Memulihkan daerah hulu dengan menanam terutama
di daerah sumber – sumber air, di tanah terbuka dan semak belukar melalui
pemberdayaan masyarakat.
Membangun pola penanganan sistem tanggap
darurat yang lebih menekankan kerjasama dengan masyarakat.
Membangun dan memobilisasi komunitas
masyarakat yang berada di daerah banjir dengan komunitas masyarakat di lokasi
yang akan dijadikan tempat evakuasi/ penampungan pengungsi.
UPAYA
PENCEGAHAN BENCANA BANJIR DAN LONGSOR DI INDONESIA
Rujukan
: Dari berbagai sumber
Repost
by Rulianto Sjahaputra-Kota Tangerang-2014