Menyusuri Sungai Cisadane - Pada bulan
Desember 2010 yang lalu, Tim Air Telapak menyusuri Daerah Aliran Sungai (DAS)
Cisadane. Dari hasil penyelusuran yang dilakukan banyak catatan menarik yang menurut
saya penting untuk kita simak bersama, khususnya menyangkut keberadaan Sungai
Cisadane. Mari kita ikuti bersama kisah perjalanan mereka.
DAS Cisadane merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang
melewati beberapa wilayah kabupaten dan kota di Jawa Barat (Bogor dan Depok),
DKI Jakarta, serta kabupaten dan kota di Tanggerang-Banten. Berdasarkan hasil
analisis luas total wilayah DAS Cisadane mencapai 161.147 hektar, dari luasan
tersebut terbagi dua yaitu kawasan lindung seluas 58.905 hektar dan kawasan
bukan lindung seluas 102.242 hektar (Analisis Kawasan Lindung DAS
Cisadane-Angke-Ciliwung, Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2007).
Sumber air DAS Cisadane berasal dari Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango (TNGGP) dan Taman Nasional Halimun Salak (TNGHS). Aliran sungai
induk (Sungai Cisadane) mengalir sejauh 1.047 Km dari kawasan hulu hingga
hilir. Aliran sungai ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat yang bermukim
disekitar bantaran untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan pola
pemanfaatan yang beragam.
Kegiatan “Susur DAS Cisadane” dilakukan di penghujung tahun
2010. Kegiatan ini dilakukan oleh Tim Air Telapak bersama Badan Teritori Jawa
Bagian Barat Telapak (BT JABAGBAR). Tim pelaksana yaitu Nur Alizah dan Sandika
Ariansyah, selama 6 hari Tim melakukan penuluran di wilayah hulu-tengah-hilir
DAS Cisadane, pada tanggal 18-19 dan 23-26 Desember 2010. Kegiatan penulusuran
ini dilakukan dengan menulusuri sungai induk, anak sungai serta saluran irigasi
yang masuk kedalam wilayah DAS Cisadane. Tujuannya kegiatan ini untuk
“memotret” ragam pemanfaatan sumber daya
alam di Kawasan DAS Cisadane baik oleh masyarakat, kelompok maupun industri.
1. Wilayah Hulu
|
Wilayah Hulu Sungai Cisadane (Kmp. Bobojong, Bogor) |
Ragam pemanfaatan DAS Cisadane wilayah hulu erat kaitannya
dengan pemanfaatan sumber air baku dan budidaya pertanian (padi dan ikan).
Seperti terlihat di Kampung Bobojong, Desa Tamansari, Kecamatan Tamansari,
Kabupaten Bogor, masyarakat disana memanfaatkan kejernihan air pegunungan di
Sungai Ciapus (Sub DAS Cisadane) dijadikan sumber air baku untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari khususnya minum dan memasak. Tidak hanya Kampung Bobojong
yang menikmati pasokan air bersih tersebut, melainkan beberapa desa lain yang
berada di Kecamatan Tamansari. Meskipun tidak berasal langsung dari sumber mata
air, kejernihan dan kebersihan airnya bisa disetarakan dengan mata air.
Kondisi serupa terjadi di Kampung Ciangsana, Desa Tapos,
Kecamatan Tenjolaya, bedanya sumber air berasal dari mata air di wilayah
sekitar. Pemanfaatan yang digunakan tidak hanya untuk sarana minum dan memasak,
tetapi untuk memenuhi kebutuhan air untuk budidaya pertanian.
Salah satu sungai yang digunakan untuk pemanfaatan budidaya
pertanian yaitu Sungai Ciampea (Sub DAS Cisadane) di Kecamatan Tenjolaya,
Kabupaten Bogor. hampir sebagian masyarakat memanfaatkan saluran irigasi dari
Sungai Ciampea untuk budidaya padi dan ikan air tawar. Jenis padi yang ditanam
dari jenis super, sedangkan jenis ikan tawar yang dipelihara yaitu ikan mas. Di
lokasi tersebut sangat terkenal sebagai sentra budidaya ikan mas, karena jumlah
produksi yang dihasilkan cukup besar hingga mencapai lebih dari 1 ton per hari
dengan berbagai jenis ukuran.
Selain itu ada juga pemanfaatan untuk pasokan listrik, salah
satunya PLTA Karacak yang berlokasi di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang,
Kabupaten Bogor. Dengan memanfaatkan sumber air dari Sungai Cianten dan
Cikuluwuk, PLTA Karacak dapat menghasilkan listrik sebesar 6,3 Megawatt.
Pasokan listrik tersebut menerangi khususnya wilayah Bogor Barat dan digunakan
sebagai interkoneksi untuk wilayah Jawa-Bali.
2. Wilayah Tengah
Ragam pemanfatan di
wilayah tengah tidak sebanyak di wilayah hulu. Pemafaatan yang nampak terlihat
lebih banyak pada kegiatan penambangan galian C. Aktifitas ini sudah
berlangsung dari tahun 1970 dan masih berlangsung sampai sekarang. Nampak
terlihat jelas di beberapa desa di Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. terdapat
aktifitas warga dan industri tambang yang memanfaatkan Sungai Cisadane dan
beberapa bukit/gunung sebagai sumber mata pencaharian.
|
Wilayah Tengah Sungai Cisadane (Rumpin, Bogor) |
Secara spesifik jenis kegiatan penambangan yang dilakukan terbagi
menjadi dua, yaitu penambangan tradisional yang dikelola oleh masyarakat dan
penambangan modern oleh industri. Sedangkan untuk lokasi terbagi berada di
sekitar bantaran Sungai Cisadane dan beberapa bukit/gunung di sekitar Kecamatan
Rumpin. Hampir sebagian besar masyarakat disana menggantungkan hidupnya dibinis
galian C, beberapa produk yang dihasilkan seperti pasir, batu sprit ukuran 2-3
cm dan 3-5 cm, batu belah, abu, dll.
Salah satu lokasi penambangan tradional yang dikelola oleh
masyarakat berada di Kampung Cibodas. Sebagian besar mereka memanfaatkan
bantaran Sungai Cisadane untuk menambang pasir dan batu belah. Dalam satu hari
mereka dapat mengasilkan sekitar 2 M3 (meter kubik) pasir setiap hari,
sedangkan batu produksinya sekitar 1 M3 (meter kubik) karena kurangnya
ketersedian batu di sungai. Dalam satu hari mereka mendapatkan penghasilan
sekitar 35 ribu per hari untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sedangkan untuk industri pertambangan galian C, sedikitnya
terdapat 3 industri yang keberadaannya sudah tutup alias bangkrut. Industri
yang terakhir tutup yaitu PT. Sehati yang tutup sejak tahun 2008. Menurut
informasi dari salah satu staf, jumlah produksi mencapai 2000 M3 (meter kubik)
per hari dengan intensitas waktu 24 jam dengan jumlah pegawai mencapai 200
orang. Perusahaan ini tutup dikarenakan ijin produksi tidak bisa diperpanjang
karena masyarakat sekitar menolaknya.
Selain itu terdapat
juga perusahaan penambangan sekala besar di wilayah Rumpin, mereka melakukan
eksploitasi dibeberapa bukit dan gunung. Industri yang terdapat di wilayah
tersebut diantaranya PT. Korindo, PT. Lola, PT. Mustika, PT. Holcim (Trumik),
dll. Jenis produks yang dihasilkan seperti pasir, batu belah batu sprit ukuran
2-3 cm dan 3-5 cm, abu, skirining, makadang, sirdam, dll. Produk-produk
tersebut dijual kepada pembeli di sekitar Jabodetabek untuk berbagai kebutuhan
seperti jalan, bangunan, dll.
Ada juga masyarakat yang membeli material tambang dari
pabarik-pabrik untuk dijual kembali ke pembeli. Untuk jenis yang biasa dijual
kebanyak pasir dan batu sprit ukuran 2-3 cm. Biasanya mereka membeli dari
pabrik dengan ukuran 1 truk tronton sekitar 2 juta rupiah, kemudian mereka
menjual kembali kepada pembeli dalam ukuran 1 truk engkol dengan harga 800 –
900 ribu rupiah. Keuntungan yang diperoleh setiap kali transaksi berkisar 200 –
300 ribu perhari. Sedangkan untuk kuli yang angkut dihargai 50 ribu rupiah per
truk engkol dan biasanya dikerjakan oleh 4-5 orang. Biasanya keuntungan bersih
yang diperoleh setiap orang sebesar 50 ribu perhari.
3. Wilayah Hilir
Untuk wilayah hilir
kegiatan penyulusuran dilakukan di Tanggerang – Banten. Kegiatan susur difokus
Desa Tanjung, Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tanggerang, dan Kecamatan Karawaci Kota Tanggerang. Di wilayah tersebut terdapat pola pemanfaatan kolam tambak ikan dan
cacing sutra (limnodrilus).
|
Wilayah Hilir Sungai Cisadane (Teluk Naga, Tangerang) |
Di wilayah Teluk Naga dijumpai puluhan kolam tambak yang
membentang hingga puluhan hektar, lokasinya berdekatan dengan muara sungai.
Kolam tambak tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk budidaya ikan,
khususnya ikan bandeng dan lobster. Beberapa tahun ini kegiatan tersebut sudah
tidak lagi produktif, saat ini para petani mengalihkan budidayanya kepada jenis
ikan nila. Hal ini dilakukan karena mereka sering mengalami kematian ikan
bandeng dan lobster akibat pencemaran air Sungai Cisadane. Mereka harus menelah
pil pahit karena mengalami kerugian yang jumlah mencapai jutaan rupiah, padahal
tambak tersebut digunakan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat.
Jika sedang mujur, jumlah produksi yang dihasilkan setiap
kali panen lumayan banyak dan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
sebaliknya jika kondisi bibit dan cuaca buruk maka petani disana akan mengalami
kerugian. Tidak banyak alternatif kegiatan yang dilakukan sebagai pengganti
mata pencaharian, biasanya mereka pergi ke laut atau mencari pekerjaan ke kota.
Sama halnya dengan masyarakat di Teluk Naga, masyarakat yang
hidup di Kampungan Cacing memanfaatkan Sungai Cisadane untuk mencari cacing
sutra. Dikenal dengan sebutan “Kampung Cacing” karena hampir 90% (persen) masyarakat
disana berprofesi sebagai pencari cacing di Sungai Cisadane. Kampung tersebut
awalnya merupakan pemukiman liar yang tumbuh disekitar bantaran sungai semenjak
tahun 2000, saat ini kondisinya semakin lama semakin bertambah jumlah penduduk
dan semakin padat pemukiman. Lahan yang digunakan merupakan milik pribadi
(orang cina) yang menyewakan lahannya untuk dijadikan pemukiman.
Jumlah produksi yang diperoleh dari kegiatan ini cukup besar,
jika beruntung setiap harinya masyarakat bisa mengumpulkan sekitar 80 taker
atau sekitar 120 kg, karena 1 taker = 1,5 kg. Biasanya mereka menjual 1 taker
dengan harga 7 ribu rupiah, dan keuntungan bersih bisa mencapai 100 ribu per
hari. Selain mencari cacing, beberapa warga ada yang membudidayakan bibt ikan
lele. Usaha sampingan ini cukup memberikan penghasilan tambahan bagi masyarakat
Kampung Cacing, meskipun pendapatannya tidak bisa ditentukan akibat resiko
kematian yang tinggi.
|
Peta DAS Cisadane |
Bencana banjir dan pencemaran merupakan kejadian yang sering
dialami oleh masyarakat di wilayah hilir dan berdampak langsung terhadap
kehidupan masyarakat. Jika banjir melanda, maka persedian cacing menipis bahkan
hilang akibat tersapu banjir. Berbeda dengan wilayah hulu dan tengah, jika
banjir datang mereka sangat senang karena persedian pasir berlimpah akibat
luapan banjir.
Selain itu,
pencemaran sungai lebih disebabkan pembuangan limbah oleh perusahaan industri
di wilayah perkotaan dan sekitarnya. Jenis limbah yang dibuang jenisnya ada
yang padat dan cair. Perusahaan industri memanfaatkan aliran Sungai Cisadane
sebagai saluran pembuangan menuju laut. Kegiatan pencemaran ini marak dilakukan
karena banyaknya bangunan pabrik di wilayah tersebut.
Kualitas sungai di
wilayah hilir memang berbeda dengan hulu dan tengah, kondisi ini nampak sekali
pada warna dan bau air sungai. Terjadinya penuruan kualitas disebabkan oleh
limbah industri dan rumah tangga, kejadian ini sudah lama dirasakan oleh
masyarakat sekitar bantaran Cisadane.
Sungguh kondisi yang kontradiktif antara wilayah
hulu-tengah-hilir di DAS Cisadane. Jika tidak ditanggulangi segera maka akan
semakin banyak korban yang menderita akibat kerusakan DAS Cisadane dan
kemiskinan akan semakin merajalela. Upaya penanggulangan ini harus didasari
oleh semangat kolaborasi antar stakeholder, baik pemerintah pusat, daerah,
masyarakat setempat, akademisi, LSM dan perusahaan industri. Kesadaran akan
pentingnya sungai untuk kehidupan harus ditingkatkan melalui kegiatan serta
dukungan nyata untuk memperbaiki ekosistem DAS. Karena jika tidak, maka
kerusakan dan kepunahan masal beberapa species akan terjadi di masa mendatang
dan penderitaan masyarakat akan semakin meningkat. Menyusuri Sungai Cisadane.
-----------------------------------------------------
Menyusuri Sungai
Cisadane
Tim Penyelusur : andika Ariansyah & Nur Azizah
Repost by rulianto-2012