Blogroll

Cisadane River slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Cisadane River slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Cisadane River slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Cisadane River slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Cisadane River slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Cisadane River slide 6 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Cisadane River slide 7 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Cisadane River slide 8 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Cisadane River slide 9 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Cisadane River slide 10 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Cisadane River slide 11 title

Aliran Sungai Cisadane membelah Kota Tangerang.

Selasa, 04 Februari 2014

UPAYA PENCEGAHAN BENCANA BANJIR DAN LONGSOR DI INDONESIA

(Repost by : Rulianto Sjahputra)
Kawasan Bundaran Hotel Indonesia dan Jalan MH Thamrin, Jakarta, terendam banjir luapan Sungai Ciliwung, Kamis (17/1/13). Banjir menerjang berbagai kawasan membuat Jakarta lumpuh dan dinyatakan dalam kondisi darurat bencana. (Kompas/Iwan S.)
UPAYA PENCEGAHAN BENCANA BANJIR DAN LONGSOR DI INDONESIA. Tangerang 2014. Layaknya dalam melewati suatu masa akhir tahun dan mengawali tahun baru berikutnya. seharusnya dipenuhi dengan rasa bahagia dan optimis setelah sebelumnya melakukan  intropeksi dan evaluasi terhadap apa saja kelebihan dan kekurangan pada tahun sebelumnya yang telah dialamani. Ternyata uporia kebahagian awal tahun baru saat ini tidak dapat dinikmati oleh sebagian besar anak bangsa Indonesia kita tercinta ini. Rentetan musibah dan bencana telah dirasakan secara intens sejak bulan-bulan terakhir tahun lalu oleh bangsa ini, dan sampai tulisan ini dibuat (awal Pebruari 2014), beberapa musibah bencana alam baik yang datang secara rutin seperti banjir dan tanah longsor, maupun musibah bencana alam murni seperti erupsi gunung berapi masih berlangsung di Indonesia.

Intensitas potensi bencana alam yang terjadi di Indonesia memiliki kecenderungan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berbagai potensi tersebut antara lain adalah banjir pada musim penghujan dan tanah longsor, serta kekeringan pada saat musim kemarau.  Banjir, tanah longsor dan kekeringan merupakan fenomena rutin dengan daerah sebaran yang terjadi juga semakin meluas di hampir seluruh daerah di Indonesia. Tak terkira jumlah korban jiwa dan nilai kerugian yang diderita.

Pada tahun 2013 saja di Jakarta, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengatakan, kerugian akibat banjir yang melanda Ibu Kota kali ini diperkirakan Rp 20 triliun (Balaikota Jakarta, Selasa, 22/1/2013). Sementara di Sulawesi Utara, BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) merilis data sementara kerugian banjir di Manado telah mencapai Rp. 380 triliun (Tribun Manado, Selasa 14/2/2014). Basuki Rakhmat, Kepala Seksi Pengendalian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) seperti dikutip situs Pemprov DKI, beritaJakarta.com, Rabu (15/1/2014), sementara ini tercatat sebanyak 2.761 warga dan tersebar di 20 lokasi pengungsian dengan sebaran dampak kepada 2.925 kepala keluarga (KK) atau 8.064 jiwa yang tersebar di sebanyak 10 kecamatan dan 18 kelurahan di Jakarta. Untuk korban jiwa data sementara yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, menyebutkan ada 18 orang tewas, 2 orang hilang, 101 rumah hanyut, dan ribuan warga mengungsi. Korban tersebut berasal dari Kota Manado (6 tewas, 1 hilang), Kabupaten Minahasa (6 tewas), Kota Tomohon (5 tewas, 1 hilang) dan Kabupaten Minahasa Utara (1 tewas). Belum lagi kerugian dan korban musibah banjir dan tanah longsor di wilayah Indonesia lainnya mulai dari Indonesia bagian barat, seperti banjir di Jambi akibat luapan Sungai Batanghari yang merendam 5.000 rumah (14/1/2014), sampai ke Indonesia Timur seperti bencana hujan dan tanah longsor di Sentani, Jayapura yang merengut 4 korban pada 4 Januari 2014 kemarin.

Frekuensi kejadian bencana banjir, longsor, dan kekeringan selain karena kerusakan lingkungan, juga dipicu dengan fenomena perubahan iklim. Berdasarkan data BNPB, 2011 bahwa trend bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bencana yang terjadi tersebut umumnya berkaitan dengan hidrometeorologi (kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang) terjadi rata-rata hampir 80 % dari total bencana di Indonesia. Bahkan menurut catatan Internasional Disaster Database (2007), 10 kejadian bencana terbesar di Indonesia yang terjadi dalam periode waktu 1907 – 2007 terjadi setelah tahun 1990 an dan sebagian besar merupakan bencana yang terkait dengan iklim khususnya banjir, kemudian kekeringan, kebakaran hutan, dan ledakan penyakit.


PENYEBAB UTAMA

Berbicara penanggulangan banjir maupun tanah longsor, maka salah satu kontribusi terbesar terjadinya musibah bencana ini adalah kurang bijaksananya perlakuan kita dalam menjaga keseimbangan dan keserasian alam sekitar kita. Musibah banjir dan tanah longsor serta kekeringan yang terjadi lebih dipandang sebagai fenomena alam biasa yang disebabkan oleh salah satu factor alam yaitu hujan. Banyak kita dengar khususnya dari media dan pejabat pemerintah terkait, bahwa seperti untuk banjir saja yang melanda lebih dikarenakan ketidakmampuan sungai setempat dalam menampung debit curah hujan yang tinggi, serta paling tidak dikatakan karena limpahan (kiriman) air sungai dari daerah lain yang lebih tinggi (daerah hilir sungai) pasca hujan lebat yang terjadi. Jarang yang mau mengakui bahwa penyebab utama terjadinya musibah tersebut lebih dikarenakan perlakuan kita dalam menjaga keseimbangan alam yang tidak bijak dan tidak konsisten.

Untuk itu dianggap sudah sangat mendesak untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan (preventif) dalam upaya solusi penanggulangan bencana banjir dan tanah longsor di Indonesia ke depan yang harus mulai ditingkatkat dengan meliputi kegiatan-kegiatatan nyata yang terencana dan tersistematis pada uraian-uraian berikut dalam tulisan ini. 

UPAYA PENCEGAHAN BENCANA BANJIR DAN LONGSOR DI INDONESIA

I.    PENCEGAHAN PERUSAKAN KAWASAN LINDUNG

Pencegahan perusakan lingkungan di kawasan lindung dimaksudkan untuk melakukan upaya preventif terhadap kegiatan-kegiatan yang berpotensi dapat merusak fungsi lindung kawasan. Berikut beberapa kegiatan yang tidak boleh dilakukan di Kawasan Lindung secara rinci berdasarkan pola penggunaan tiap-tiap kawasan :

1. Kawasan Hutan Lindung

Kegiatan yang tidak boleh dilakukan di kawasan hutan lindung adalah :
  • Mengerjakan kegiatan budidaya apapun;
  • Melakukan penebangan pohon;
  • Mendirikan bangunan terstruktur;
  • Melakukan kegiatan lain yang akan menurunkan fungsi kawasan sebagai pengendali tata air dan pelindung erosi;
2. Kawasan Resapan Air

Tidak diperkenan mendirikan bangunan di kawasan resapan air yang akan menghalangi meresapnya air hujan secara besar-besaran. Pembangunan jalan raya juga dihindari agar tidak menyebabkan pemadatan tanah dan terganggunya fungsi akuifer. Vegetasi yang ada di tempat ini agar dijaga dan tidak dilakukan penebangan komersial.

Sumur resapan air di lingkungan permukiman
Daerah resapan air pada hakikatnya adalah sebuah daerah yang disediakan untuk masuknya air dari permukaan tanah ke dalam zona jenuh air sehingga membentuk suatu aliran air di dalam tanah. Fungsi dari daerah resapan air sendiri adalah untuk menampung debit air hujan yang turun di daerah tersebut. Secara tidak langsung daerah resapan air memegang peran penting sebagai pengendali banjir dan kekeringan di musim kemarau. Dampak yang terjadi bila alih fungsi lahan yang terjadi tak terkendali diantaranya adalah banjir. Banjir terjadi karena tidak adanya tanah yang menampung air hujan. Dampak yang lain yakni kekeringan diwaktu musim kemarau. Ini terjadi karena air hujan yang turun di musim hujan tidak tertampung di dalam tanah akibatnya air tanah sedikit bahkan tak ada lagi.

Untuk memperbaiki dan menambah daerah resapan air bisa dilakukan dengan cara-cara berikut :
  1. Menentukan vegetasi yang tepat untuk ditanam di daerah resapan. Beberapa diantaranya adalah bambu, beringin, bisbul (sejenis kesemek), rambutan, nangka, manggis, dan matoa.
  2. Memperbaiki kondisi tanah agar mudah menyerap air.
  3. Membuat lubang biopori. Pembuatan lubang biopori dapat dilakukan oleh secara pribadi di rumah-rumah sehingga jika dilakukan secara kolektif akan menambah jumlah resapan air di kota besar
  4. Menambah ruang terbuka hijau, misal taman kota.
  5. Membuat sumur resapan.
  6. Menjaga agar luas daerah resapan air tidak terkonversi menjadi bangunan-bangunan yang tidak ramah lingkungan.
Dari beberapa cara diatas, hal yang paling sederhana adalah dengan membuat lubang-lubang biopori minimal di halaman rumah sendiri. Hal besar berawal dari hal kecil.

3. Kawasan Sempadan Sungai

Sepanjang sempadan sungai   tidak diperkenankan digunakan untuk jalan, bangunan, dan kegiatan budidaya lainnya. Pada sempadan sungai harus dilakukan penanaman pohon yang berfungsi untuk meningkatkan kapasitas resapan air dan menjaga agar tidak terjadi penebangan dan pengambilan vegetasi.

4.  Kawasan sekitar danau/waduk

Di kawasan ini harus dijaga agar tidak terjadi penebangan pohon, sedangkan pada kawasan yang gundul dilakukan penanaman pohon.

5. Kawasan sekitar mata air

Dikawasan sekitar mata air, yakni pada radius 200 meter tidak diperkenankan untuk kegiatan budidaya.

II.    LANGKAH PENGURANGAN RESIKO

Di saat musim kemarau, terjadi krisis kualitas dan kuantitas air yang menyebabkan sulitnya penduduk mendapatkan akses air bersih dan kekeringan lahan pertanian. Siklus banjir dan kekeringan tersebut karena terganggunya siklus air dari hulu sampai dengan hilir oleh kegiatan manusia yang kurang atau tidak memperhatikan kaidah perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Oleh karenanya perlu adanya kegiatan dan tindakan nyata untuk mengurangi resiko – resiko bencana banjir antara lain :

Jangka Pendek :
  1. Diseminasi informasi daerah rawan banjir dan longsor serta meminta Pemkab/ kota diminta mencermati lokasi yang rawan.
  2. Melakukan pengerukan selokan – selokan maupun endapan sepanjang sungai.
  3. Membenahi saluran air / sungai yang tersumbat oleh bangunan, ataupun sampah terutama di daerah yang tergenang air.
  4. Menghentikan pembuangan sampah ke sungai serta pengawasannya. Mengingat sekitar 29 % masyarakat sekitar aliran sungai selalu membuang sampah ke sungai (Penelitian KLH - JICA, 2007).
  5. Mengkampanyekan, membina masyarakat dan mewajibkan dunia usaha untuk membuat sumur resapan, lubang resapan biopori dan bak penampung air hujan dalam rangka memanen air hujan. Pemanenan air hujan tersebut dapat dilihat pada :
a.   Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 12 Tahun 2009 tentang Pemanfaatan Air Hujan.
b.  Buku Metode Memanen Air dan Memanfaatkan Air Hujan untuk Penyediaan Air Bersih, Mencegah Banjir dan Kekeringan.
c.   Panduan Kesiapsiagaan Banjir
d.   Buku saku Lubang Resapan Biopori
e.   Pedoman Pencegahan Banjir dan Longsor

6.  Memobilisasi komunitas masyarakat yang peduli air, sungai maupun bencana banjir untuk mengurangi resiko banjir khususnya di DKI Jakarta, Jabodetabek maupun wilayah lainnya.

Jangka Menengah :
  1. Membuat jaring – jaring sampah pada anak – anak sungai dan pengolahan sampahnya.
  2. Melanjutkan pembuatan cek dam di hulu (program seribu cek dam), sebagai penampung air skala kecil, sumur resapan dan pengurangan sedimen (sedimen trap) ke sungai dengan melibatkan pelaku usaha dan masyarakat sebagai pemanfaat air.
  3. Memulihkan daerah hulu dengan menanam terutama di daerah sumber – sumber air, di tanah terbuka dan semak belukar melalui pemberdayaan masyarakat.
  4. Membangun pola penanganan sistem tanggap darurat yang lebih menekankan kerjasama dengan masyarakat.
  5. Membangun dan memobilisasi komunitas masyarakat yang berada di daerah banjir dengan komunitas masyarakat di lokasi yang akan dijadikan tempat evakuasi/ penampungan pengungsi.
UPAYA PENCEGAHAN BENCANA BANJIR DAN LONGSOR DI INDONESIA
Rujukan : Dari berbagai sumber
Repost by Rulianto Sjahaputra-Kota Tangerang-2014

Minggu, 07 Oktober 2012

Ketika Cisadane Kritis

Ketika Cisadane Kritis, berita laporan Tempo.co, Selasa 11 September 2012.

Beberapa warga melintas Sungai Cisadane yang airnya mengalami penyurutan di Sepatan Timur, kab.Tangerang, Banten, Selasa (4/9). ANTARA/Lucky.R


TEMPO.COTangerang-Hamparan Delta berwarna putih, coklat, kuning gading hingga kehitaman memanjang mengikuti aliran sungai Cisadane, Tangerang Banten menjadi pemadangan menakjubkan. Bentuk daratan yang terbentuk dari pengendapan sedimen di dasar sungai terbesar dan terpanjang di Tangerang tersebut hanya bisa dilihat saat sungai mengering karena kemarau berkepanjangan.

Endapan di pinggiran dan tengah sungai itu terlihat dari hulu sungai wilayah Serpong Tangerang Selatan hingga hilir Teluk Naga Kabupaten Tangerang. Tempo menelusuri sungai Cisadane lalu mendapati dasar sungai sudah terlihat jelas. Air hanya mengalir dibagian cekung. 

Dipintu air 10 air masih terlihat berwarna coklat kekuningan dengan ketinggian jauh di bawah lumpur yang menumpuk dan sudah pecah-pecah karena kekeringan. "Kalau lagi kering begini, banyak bermunculan buaya darat, berpasangan lagi," kata Sukri, penjaga bendung Cisadane. Buaya darat yang dimaksud Sukri adalah pasangan muda-mudi yang berpacaran di hamparan batu-batuan dan delta sungai Cisadane.

Di bagian hilir sungai setelah pintu air 10, air sungai semakin mengecil berwarna hitam pekat dan berbusa. Bau busuk menyengat. Warna hitam pekat, busa dan bau menusuk tersebut diduga air sudah bercampur limbah industri yang berada di aliran sungai tersebut.

Kondisi ini cukup menyulitkan bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari air sungai Cisadane, seperti Suratman, 35 tahun, pemilik usaha jasa eretan di kampung Lio, Sepatan Timur. Eretan adalah alat penyeberangan sungai berbentuk perahu besar yang kemudian ditarik menggunakan tali atau kawat dari seberang sungai ke seberang lagi.

Dari pintu air Cisadane hingga Sepatan sedikitnya ada 10 jasa eretan yang merupakan transportasi warga menyeberang dari kampung ke kampung lain. "Kalau sungai kering begini, untuk menarik membutuhkan tenaga cukup besar," kata Suratman. 

Keringnya Cisadane juga dirasakan pahit masyarakat di bagian hilir atau wilayah utara Tangerang. Warga yang selama ini memanfaatkan air irigasi untuk keperluan mandi, mencuci dan mengairi sawah terpaksa tidak kebagian air lagi. Sudah tiga pekan ini suplai dari Cisadane terhenti."Pintu air bendung Cisadane sudah tiga pekan ini tidak dibuka, otomatis saluran irigasi menjadi kering," kata Sarimi,40 tahun, warga Pondok Kelor, Sepatan Timur.

Para petani juga terkena imbas krtisinya sungai Cisadane."Kami pasti gagal panen, karena sawah kering," kata Pungut, 80 tahun, petani di Desa Kramat, Kecamatan Pakuaji. Pungut yang memiliki empat bidang sawah mengaku mengalami kerugian yang cukup besar akibat gagal panen."Padi tidak berisi beras (puso)," katanya.

Kepala Bendung Pintu Air 10 Cisadane, Sumarto mengatakan debit sungai Cisadane saat ini masuk pada fase kritis. Ketinggian air sungai dengan luas 24 hektar tersebut terus menyusut hingga level terendah 11.00. "Tadi pagi 11.05, sore ini sudah 11.00, sudah kritis," katanya.

Menurut Sumarto, jika ketinggian air sudah diangka 10.00 maka sungai Cisadane sudah tidak bisa lagi digunakan baik untuk industri, pengolahan air bersih maupun pertanian. Saat ini, ia melanjutkan, debit Cisadane terus mengalami penyusutan dan sudah tidak bisa lagi dibendung atau di tampung sehingga tidka bisa dialirkan ke saluran-saluran irigasi. "Jangan dialirkan, ditampung saja sudah tidak bisa lagi," katanya.

Sumarto menambahkan, kemarau tahun ini merupakan yang terparah dalam 10 tahun terakhir. Susut Cisadane cukup signifikan diatas rata-rata normal yaitu 12.45 hingga 12.50.
___________________________
Joniansyah
Repost by rulianto-2012

Sabtu, 06 Oktober 2012

Bendungan Pintu Sepuluh Cisadane

Bendungan Pintu Sepuluh Cisadane - Pemerintah Belanda membangunnya selama enam tahun, sejak 1925 hingga 1931, dengan mendatangkan para pekerja dari Cirebon. Bendungan ini bertujuan untuk mengatur aliran sungai Cisadane hingga membuat Tangerang menjadi kawasan pertanian yang subur. Dari bendung ini, air didistribusikan untuk irigasi dan sumber air baku bagi kawasan Tangerang. Sebagian besar dialirkan ke muara Sungai Cisadane di Tanjung Burung (Teluk Naga) menuju ke Laut Jawa. Bangunan sepanjang 110 meter ini membentang di Kali Cisadane tepatnya di daerah Pasar Baru.

Bendung ini sekarang dikelola oleh Balai Pengelola Sumber Daya Air (BPSDA) Cisadane-Ciujung, Kota Tangerang. Dari sini pula, para petugas BPSDA menjaga ketinggian air untuk mencegah banjir. Batas ketinggian air normal di bendungan ini adalah 12,5 meter. Ketika terjadi banjir bandang yang melanda Kota Tangerang pada 1981, ketinggian air di Pintu Air Sepuluh ini mencapai 14 meter, kendati seluruh pintunya sudah dibuka.

Sedangkan di musim kemarau, ketinggian air bisa mencapai 11 meter.

Bendungan Pintu Sepuluh Cisadane
Sungai Cisadane merupakan salah satu sungai lintas Provinsi yang melalui wilayah Provinsi Jawa Barat dan Baten. Sungai ini bersumber dari kaki Gunung Salak dan Gunung Pangrango yang mengalir kearah utara melalui kota Bogor, Ciampera, Tangerang dan berakhir di muara Laut Jawa. Sungai Cisadane mempunyai anak sungai antara lain : Cisodong, Cibogo, Citempuan, Ciaten, Cisidangbarang, Cipanas, dan lain sebagainya. Debit minimun Sungai Cisadane adalah 26,54 m3/s dan maksimum adalah 484, 43 m3/s. Adapun manfaat air sungai Cisadane adalah : sebagai sumber air minum, sumber air baku industri, dan untuk keperluan domestik.

Dengan daerah tangkapan seluas 1.100 km2, sungai Cisadane merupakan salah satu sungai utama di Propinsi Banten dan Jawa Barat. Sumbernya berada di Gunung Salak – Pangrango (Kabupaten Bogor, sebelah Selatan Kabupaten Tangerang) dan mengalir ke Laut Jawa. Panjang sungai sekitar 80 km.

Fluktuasi aliran Sungai Cisadane sangat bergantung pada curah hujan di daerah tangkapannya. Aliran yang tinggi terjadi saat musim hujan dan menurun saat musim kemarau. Antara tahun 1971 dan 1997, berdasarkan pemantauan di Stasiun Pengamat Serpong, aliran sungai terendah yang pernah terjadi tercatat sebesar 2,93 m³/detik di tahun 1991 dan tertinggi 973,35 m3/detik pada tahun 1997.

Berdasarkan catatan bulanan antara tahun 1981 dan 1997, aliran minimum terjadi antara bulan Juli dan September, dengan rata-rata aliran di bawah 25 m³/detik.

Pada saat ini Sungai Cisadane diandalkan untuk memenuhi kebutuhan air bagi industri, irigasi dan air minum di wilayah ini.

Namun demikian peningkatan pencemaran akibat kegiatan industri dan domestik termasuk pembuangan limbah cair secara ilegal, mengakibatkan pengolahan air menjadi semakin mahal dan sulit untuk dilakukan. - Bendungan Pintu Sepuluh Cisadane.

-----------------------------------------------------
Bendungan Pintu Sepuluh Cisadane
Source : Situs Pengolahan Air Baku
Repost by rulianto-2012

Menyusuri Sungai Cisadane


Menyusuri Sungai Cisadane - Pada bulan Desember 2010 yang lalu, Tim Air Telapak menyusuri Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane. Dari hasil penyelusuran yang dilakukan banyak catatan menarik yang menurut saya penting untuk kita simak bersama, khususnya menyangkut keberadaan Sungai Cisadane. Mari kita ikuti bersama kisah perjalanan mereka.

DAS Cisadane merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang melewati beberapa wilayah kabupaten dan kota di Jawa Barat (Bogor dan Depok), DKI Jakarta, serta kabupaten dan kota di Tanggerang-Banten. Berdasarkan hasil analisis luas total wilayah DAS Cisadane mencapai 161.147 hektar, dari luasan tersebut terbagi dua yaitu kawasan lindung seluas 58.905 hektar dan kawasan bukan lindung seluas 102.242 hektar (Analisis Kawasan Lindung DAS Cisadane-Angke-Ciliwung, Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2007).

Sumber air DAS Cisadane berasal dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan Taman Nasional Halimun Salak (TNGHS). Aliran sungai induk (Sungai Cisadane) mengalir sejauh 1.047 Km dari kawasan hulu hingga hilir. Aliran sungai ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat yang bermukim disekitar bantaran untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan pola pemanfaatan yang beragam.

Kegiatan “Susur DAS Cisadane” dilakukan di penghujung tahun 2010. Kegiatan ini dilakukan oleh Tim Air Telapak bersama Badan Teritori Jawa Bagian Barat Telapak (BT JABAGBAR). Tim pelaksana yaitu Nur Alizah dan Sandika Ariansyah, selama 6 hari Tim melakukan penuluran di wilayah hulu-tengah-hilir DAS Cisadane, pada tanggal 18-19 dan 23-26 Desember 2010. Kegiatan penulusuran ini dilakukan dengan menulusuri sungai induk, anak sungai serta saluran irigasi yang masuk kedalam wilayah DAS Cisadane. Tujuannya kegiatan ini untuk “memotret” ragam  pemanfaatan sumber daya alam di Kawasan DAS Cisadane baik oleh masyarakat, kelompok maupun industri.

1. Wilayah Hulu

Wilayah Hulu Sungai Cisadane (Kmp. Bobojong, Bogor)
Ragam pemanfaatan DAS Cisadane wilayah hulu erat kaitannya dengan pemanfaatan sumber air baku dan budidaya pertanian (padi dan ikan). Seperti terlihat di Kampung Bobojong, Desa Tamansari, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, masyarakat disana memanfaatkan kejernihan air pegunungan di Sungai Ciapus (Sub DAS Cisadane) dijadikan sumber air baku untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari khususnya minum dan memasak. Tidak hanya Kampung Bobojong yang menikmati pasokan air bersih tersebut, melainkan beberapa desa lain yang berada di Kecamatan Tamansari. Meskipun tidak berasal langsung dari sumber mata air, kejernihan dan kebersihan airnya bisa disetarakan dengan mata air.

Kondisi serupa terjadi di Kampung Ciangsana, Desa Tapos, Kecamatan Tenjolaya, bedanya sumber air berasal dari mata air di wilayah sekitar. Pemanfaatan yang digunakan tidak hanya untuk sarana minum dan memasak, tetapi untuk memenuhi kebutuhan air untuk budidaya pertanian.

Salah satu sungai yang digunakan untuk pemanfaatan budidaya pertanian yaitu Sungai Ciampea (Sub DAS Cisadane) di Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor. hampir sebagian masyarakat memanfaatkan saluran irigasi dari Sungai Ciampea untuk budidaya padi dan ikan air tawar. Jenis padi yang ditanam dari jenis super, sedangkan jenis ikan tawar yang dipelihara yaitu ikan mas. Di lokasi tersebut sangat terkenal sebagai sentra budidaya ikan mas, karena jumlah produksi yang dihasilkan cukup besar hingga mencapai lebih dari 1 ton per hari dengan berbagai jenis ukuran.

Selain itu ada juga pemanfaatan untuk pasokan listrik, salah satunya PLTA Karacak yang berlokasi di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Dengan memanfaatkan sumber air dari Sungai Cianten dan Cikuluwuk, PLTA Karacak dapat menghasilkan listrik sebesar 6,3 Megawatt. Pasokan listrik tersebut menerangi khususnya wilayah Bogor Barat dan digunakan sebagai interkoneksi untuk wilayah Jawa-Bali.

2. Wilayah Tengah

Ragam pemanfatan di wilayah tengah tidak sebanyak di wilayah hulu. Pemafaatan yang nampak terlihat lebih banyak pada kegiatan penambangan galian C. Aktifitas ini sudah berlangsung dari tahun 1970 dan masih berlangsung sampai sekarang. Nampak terlihat jelas di beberapa desa di Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. terdapat aktifitas warga dan industri tambang yang memanfaatkan Sungai Cisadane dan beberapa bukit/gunung sebagai sumber mata pencaharian.

Wilayah Tengah Sungai Cisadane (Rumpin, Bogor)
Secara spesifik jenis kegiatan penambangan yang dilakukan terbagi menjadi dua, yaitu penambangan tradisional yang dikelola oleh masyarakat dan penambangan modern oleh industri. Sedangkan untuk lokasi terbagi berada di sekitar bantaran Sungai Cisadane dan beberapa bukit/gunung di sekitar Kecamatan Rumpin. Hampir sebagian besar masyarakat disana menggantungkan hidupnya dibinis galian C, beberapa produk yang dihasilkan seperti pasir, batu sprit ukuran 2-3 cm dan 3-5 cm, batu belah, abu, dll.

Salah satu lokasi penambangan tradional yang dikelola oleh masyarakat berada di Kampung Cibodas. Sebagian besar mereka memanfaatkan bantaran Sungai Cisadane untuk menambang pasir dan batu belah. Dalam satu hari mereka dapat mengasilkan sekitar 2 M3 (meter kubik) pasir setiap hari, sedangkan batu produksinya sekitar 1 M3 (meter kubik) karena kurangnya ketersedian batu di sungai. Dalam satu hari mereka mendapatkan penghasilan sekitar 35 ribu per hari untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Sedangkan untuk industri pertambangan galian C, sedikitnya terdapat 3 industri yang keberadaannya sudah tutup alias bangkrut. Industri yang terakhir tutup yaitu PT. Sehati yang tutup sejak tahun 2008. Menurut informasi dari salah satu staf, jumlah produksi mencapai 2000 M3 (meter kubik) per hari dengan intensitas waktu 24 jam dengan jumlah pegawai mencapai 200 orang. Perusahaan ini tutup dikarenakan ijin produksi tidak bisa diperpanjang karena masyarakat sekitar menolaknya.

Selain itu terdapat juga perusahaan penambangan sekala besar di wilayah Rumpin, mereka melakukan eksploitasi dibeberapa bukit dan gunung. Industri yang terdapat di wilayah tersebut diantaranya PT. Korindo, PT. Lola, PT. Mustika, PT. Holcim (Trumik), dll. Jenis produks yang dihasilkan seperti pasir, batu belah batu sprit ukuran 2-3 cm dan 3-5 cm, abu, skirining, makadang, sirdam, dll. Produk-produk tersebut dijual kepada pembeli di sekitar Jabodetabek untuk berbagai kebutuhan seperti jalan, bangunan, dll.

Ada juga masyarakat yang membeli material tambang dari pabarik-pabrik untuk dijual kembali ke pembeli. Untuk jenis yang biasa dijual kebanyak pasir dan batu sprit ukuran 2-3 cm. Biasanya mereka membeli dari pabrik dengan ukuran 1 truk tronton sekitar 2 juta rupiah, kemudian mereka menjual kembali kepada pembeli dalam ukuran 1 truk engkol dengan harga 800 – 900 ribu rupiah. Keuntungan yang diperoleh setiap kali transaksi berkisar 200 – 300 ribu perhari. Sedangkan untuk kuli yang angkut dihargai 50 ribu rupiah per truk engkol dan biasanya dikerjakan oleh 4-5 orang. Biasanya keuntungan bersih yang diperoleh setiap orang sebesar 50 ribu perhari.

3. Wilayah Hilir

Untuk wilayah hilir kegiatan penyulusuran dilakukan di Tanggerang – Banten. Kegiatan susur difokus Desa Tanjung, Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tanggerang, dan Kecamatan Karawaci Kota Tanggerang. Di wilayah tersebut terdapat pola pemanfaatan kolam tambak ikan dan cacing sutra (limnodrilus).

Wilayah Hilir Sungai Cisadane (Teluk Naga, Tangerang)
Di wilayah Teluk Naga dijumpai puluhan kolam tambak yang membentang hingga puluhan hektar, lokasinya berdekatan dengan muara sungai. Kolam tambak tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk budidaya ikan, khususnya ikan bandeng dan lobster. Beberapa tahun ini kegiatan tersebut sudah tidak lagi produktif, saat ini para petani mengalihkan budidayanya kepada jenis ikan nila. Hal ini dilakukan karena mereka sering mengalami kematian ikan bandeng dan lobster akibat pencemaran air Sungai Cisadane. Mereka harus menelah pil pahit karena mengalami kerugian yang jumlah mencapai jutaan rupiah, padahal tambak tersebut digunakan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat.

Jika sedang mujur, jumlah produksi yang dihasilkan setiap kali panen lumayan banyak dan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sebaliknya jika kondisi bibit dan cuaca buruk maka petani disana akan mengalami kerugian. Tidak banyak alternatif kegiatan yang dilakukan sebagai pengganti mata pencaharian, biasanya mereka pergi ke laut atau mencari pekerjaan ke kota.

Sama halnya dengan masyarakat di Teluk Naga, masyarakat yang hidup di Kampungan Cacing memanfaatkan Sungai Cisadane untuk mencari cacing sutra. Dikenal dengan sebutan “Kampung Cacing” karena hampir 90% (persen) masyarakat disana berprofesi sebagai pencari cacing di Sungai Cisadane. Kampung tersebut awalnya merupakan pemukiman liar yang tumbuh disekitar bantaran sungai semenjak tahun 2000, saat ini kondisinya semakin lama semakin bertambah jumlah penduduk dan semakin padat pemukiman. Lahan yang digunakan merupakan milik pribadi (orang cina) yang menyewakan lahannya untuk dijadikan pemukiman.

Jumlah produksi yang diperoleh dari kegiatan ini cukup besar, jika beruntung setiap harinya masyarakat bisa mengumpulkan sekitar 80 taker atau sekitar 120 kg, karena 1 taker = 1,5 kg. Biasanya mereka menjual 1 taker dengan harga 7 ribu rupiah, dan keuntungan bersih bisa mencapai 100 ribu per hari. Selain mencari cacing, beberapa warga ada yang membudidayakan bibt ikan lele. Usaha sampingan ini cukup memberikan penghasilan tambahan bagi masyarakat Kampung Cacing, meskipun pendapatannya tidak bisa ditentukan akibat resiko kematian yang tinggi.

Peta DAS Cisadane
Bencana banjir dan pencemaran merupakan kejadian yang sering dialami oleh masyarakat di wilayah hilir dan berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat. Jika banjir melanda, maka persedian cacing menipis bahkan hilang akibat tersapu banjir. Berbeda dengan wilayah hulu dan tengah, jika banjir datang mereka sangat senang karena persedian pasir berlimpah akibat luapan banjir.

Selain itu, pencemaran sungai lebih disebabkan pembuangan limbah oleh perusahaan industri di wilayah perkotaan dan sekitarnya. Jenis limbah yang dibuang jenisnya ada yang padat dan cair. Perusahaan industri memanfaatkan aliran Sungai Cisadane sebagai saluran pembuangan menuju laut. Kegiatan pencemaran ini marak dilakukan karena banyaknya bangunan pabrik di wilayah tersebut.

Kualitas sungai di wilayah hilir memang berbeda dengan hulu dan tengah, kondisi ini nampak sekali pada warna dan bau air sungai. Terjadinya penuruan kualitas disebabkan oleh limbah industri dan rumah tangga, kejadian ini sudah lama dirasakan oleh masyarakat sekitar bantaran Cisadane.

Sungguh kondisi yang kontradiktif antara wilayah hulu-tengah-hilir di DAS Cisadane. Jika tidak ditanggulangi segera maka akan semakin banyak korban yang menderita akibat kerusakan DAS Cisadane dan kemiskinan akan semakin merajalela. Upaya penanggulangan ini harus didasari oleh semangat kolaborasi antar stakeholder, baik pemerintah pusat, daerah, masyarakat setempat, akademisi, LSM dan perusahaan industri. Kesadaran akan pentingnya sungai untuk kehidupan harus ditingkatkan melalui kegiatan serta dukungan nyata untuk memperbaiki ekosistem DAS. Karena jika tidak, maka kerusakan dan kepunahan masal beberapa species akan terjadi di masa mendatang dan penderitaan masyarakat akan semakin meningkat. Menyusuri Sungai Cisadane.
-----------------------------------------------------
Menyusuri Sungai Cisadane
Tim Penyelusur : andika Ariansyah & Nur Azizah
Repost by rulianto-2012

DAS Ciliwung-Cisadane dan Permasalahannya


DAS Ciliwung-Cisadane dan Permasalahannya - Dalam RTRW Propinsi Jawa Barat 2010, Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane yang mempunyai luas sekitar 4.496 km2 dengan potensi Sumber Daya Air Permukaan sebesar 5,5 Milyar M3 per tahun, terdiri dari 4 Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Ciliwung, DAS Cisadane, DAS Kali Buaran, dan DAS Kali Bekasi, yang berdasarkan hasil kajian pada tahun 2001 mempunyai kondisi sangat kritis, di mana rasio aliran mantap atau perbandingan antara kebutuhan air dan ketersediaan air atau kondisi debit aliran sungai yang diharapkan selalu ada sepanjang tahun dari ke empat DAS tersebut telah jauh melebihi 100%.

Peta DAS Ciliwung - Cisadane
Hal tersebut tentunya sangat kontras dengan kenyataan bahwa Kawasan Bodebek-Punjur merupakan dua Kawasan yang mempunyai potensi perkembangan yang sangat pesat, baik dari aspek pertumbuhan penduduk (sepertiga penduduk Jabar) maupun dari Laju Pertumbuhan Ekonominya (4,5% tahun 2001) yang selalu di atas rata-rata Jawa Barat.

Berdasarkan analisis citra landsat 1994 dan 2001, telah terjadi pergeseran penggunaan lahan (perubahan tata guna tanah) dari hutan primer sebesar 41,12% di Kawasan Bodebek dan sebesar 6,76% di Kawasan Bopunjur, dari hutan sekunder sebesar 68,94% di Kawasan Bodebek dan sebesar 1,2% di Kawasan Bopunjur, serta dari penggunaan sawah sebesar 11,98% di Kawasan Bodebek dan sebesar 4,42% di Kawasan Bopunjur. Berdasarkan berbagai perkembangan dan kondisi tersebut, terdapat beberapa permasalahan, baik dalam penataan ruang di Kawasan Bodebek-Punjur tersebut, maupun dalam pengelolaan Sumber Daya Air di DAS-DAS dalam Kawasan tersebut. Permasalahan penataan ruang yang dapat teridentifikasi adalah sebagai berikut:

Belum sinerginya penanganan atas terjadinya pergeseran penggunaan lahan terutama di Kawasan Lindung hutan, serta belum memadainya acuan penanganan kawasan yang ditetapkan fungsinya sebagai Kawasan Lindung non hutan, misalnya acuan dalam pemanfaatan lahan perkebunan yang telah habis HGU-nya, Kawasan perkotaan yang terus meningkat dan telah melebihi yang ditetapkan dalam rencana, sehingga berdasar data tahun 2001 telah terjadi penyimpangan sebesar 79,5%).

Permasalahan dalam pengelolaan sumber daya air dapat diidentifikasi sebagai berikut:
  • Ketersediaan air di Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane secara umum telah sangat kritis,
  • Belum terkendalinya pemanfaatan ruang baik di sepanjang sempadan sungai maupun pengelolaan di badan sungainya,
  • Ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan semakin mahal dan langka baik kuantitas maupun kualitasnya, sehingga menimbulkan berbagai konflik antar sektor maupun antar wilayah,
  • Fluktuasi ketersediaan air permukaan sangat tinggi, sehingga sering terjadi kebanjiran di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Hal tersebut merupakan wujud dari hulu DAS yang fungsi konservasinya telah jauh berkurang,
  • Belum adanya kesinergian antar wilayah dalam bentuk role sharing antara Propinsi/Kabupaten/Kota - Propinsi/Kabupaten/Kota di daerah hilir dalam rangka penanganan hulu DAS.
Kondisi tersebut memberikan gambaran tentang telah terjadinya kerusakan DAS yang berdampak terhadap permasalahan surplus/defisit neraca air sepanjang tahun. - DAS Ciliwung-Cisadane dan Permasalahannya.
 -------------------------------------------------------------------------------
DAS Ciliwung-Cisadane dan Permasalahannya
Source : Situs Pengolahan Air Baku
Repost by rulianto sjahputra-2012

Galian Liar Di Sungai Cisadane


GUNUNGSINDUR-Maraknya aksi galian liar di sejumlah daerah, mengundang keprihatinan berbagai pihak. Tak terkecuali, DPRD Kabupaten Bogor yang mendesak agar segera dilakukan penertiban.

Anggota Komisi A DPRD, Andriyudha Wirasakti mengakui, di sejumlah daerah masih ada galian liar yang belum memiliki perizinan, terutama di wilayah bagian barat seperti di Kecamatan Gunungsindur, Rumpin, Parungpanjang, hingga Cigudeg.

Kegiatan Galian Liar di Bantaran Sungai Cisadane
Ia menegaskan, pengawasan seharusnya terus dilakukan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Satpol PP, kepolisian, muspika hingga pemerintahan desa, supaya galian liar tak terus bertambah.

Menurut dia, galian liar merugikan lingkungan dan pemerintah. “Bisa menimbulkan berbagai bencana seperti longsor dan banjir, serta mengurangi pendapatan asli daerah (PAD),” ujarnya kepada Radar Bogor.

Lebih lanjut ia mengatakan, pelaku telah melanggar Undang-undang 32/2009 tentang Lingkungan Hidup, Perda 19/2008 dan Perbup 83/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pertambangan.

Tak hanya itu, galian liar juga menyalahi Perda 8/2006 tentang Ketertiban Umum dan UU 28/2009 tentang Pajak Daerah. “Untuk mengatasinya harus ada dukungan dari semua pihak,” kata politisi Partai Gerindra itu.

Source : Radar Banten (10 Mei 2012)
Repost by ruli.

Daerah Aliran Sungai (DAS)


Daerah Aliran Sungai (DAS) diartikan sebagai kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya ke sungai, yang akhirnya bermuara ke laut. Daerah aliran sungai sendiri terbagi menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir.

Bantaran Sungai Cisadane, Kota Tangerang
Secara biogeofisik daerah hulu DAS memiliki kerapatan drainase lebih tinggi dan daerah dengan kemiringan lereng besar (>15%). Walupun bukan merupakan daerah banjir dengan karakteristik tersebut daerah hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air. Daerah ini merupakan daerah yang perlu dikonservasi karena kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan perpindahan sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya.
Daerah aliran sungai sendiri terbagi menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir.
Keterkaitan DAS hulu dan hilir melalui daur hidrologi yaitu bagian hulu mempunyai perlindungan terhadap DAS bagian hilir yang rentan terhadap bahaya erosi dan banjir.  Oleh karena itu DAS bisa dikatakan sebagai sebuah bioregion karena adanya keterkaitan berbagai komponen di dalam DAS tersebut seperti ekosistem yang terdiri dari unsur utama vegetasi, tanah, air dan manusia dengan aktivitas didalamnya yang membentuk suatu kesatuan yang teratur secara ruang (spasial), fungsi dan waktu.

Bioregion (ruang hidup) itu sendiri  menurut Miller (1996) merupakan sebuah ruang gegrafis yang memiliki kesatuan ekosistem yang ditandai bentuk muka bumi, tutupan vegetasi, budaya manusia dan sejarah.

Desa yang berada paling hulu DAS Cisadane adalah Desa Watesjaya. Desa ini secara administrasi terletak di kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Secara Ekologi merupakan bagian dari Bioregion DAS Cisadane yang perlu dikonservasi agar tidak merusak Desa-Desa yang berada di bawahnya. Aliran Sungai utama Cisadane mengalir di desa ini sepanjang 6 km dengan 16 subdas anakan sungai cisadane. - Daerah Aliran Sungai (DAS).

Daerah Aliran Sungai (DAS) - Repost by Uiputra-2012